BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Beberapa tahun terakhir, Indonesia seakan menjadi negara yang tidak
lagi memiliki ruh karakter kebangsaan. Berbagai persoalan yang muncul seperti
korupsi yang merajalela dari pejabat tingkat atas hingga grass root,
budaya mencontek, tawuran antar kelompok, skandal suap, pergaulan bebas, etos
kerja rendah hilangnya budaya gotong royong, dan sebagainya menjadi pertanda
bahwa negara ini benar-benar sedang mengalami pengeroposan sendi-sendi
kebangsaan. Tidak ada lagi kebanggaan generasi bangsa terhadap negerinya
sendiri karena terlalu kebarat-baratan.
Krisis multimedimensi ini menjadi persoalan urgen bangsa ini dan
mendesak untuk segera ditemukan obat penawarnya. Jika dibiarkan berlarut maka
tak ayal lagi beberapa tahun ke depan negeri ini hanya tinggal nama yang
tertulis dalam sejarah. Dan pendidikan bisa menjadi salah satu wadah yang
efektif dan strategis untuk meneguhkan kembali jati diri bangsa.
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang tidak hanya menitik
beratkan pada aspek akademis belaka tapi
juga terdapat prinsip humanis yang terintegrasi dengan moralitas. Liberal
Arts adalah pendidikan yang mengakomodir itu semua. Pendidikan yang muncul
sebelum abad renaissance ini bisa menjadi jalan tengah karena
mengembalikan hakikat manusia sebagai subjek yang bebas untuk memilih apa yang
diinginkannya.
Sejalan dengan itu, pendidikan karakter yang juga memiliki prinsip
yang hampir sama bisa menjadi pilihan alternative untuk proses pendidikan Liberal
Arts. Bukankah hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia bukan
pencipta robot-robot intelektual dan penghias menara gading pendidikan?
Karakter menjadi penting karena dengannya individu menjadi semakin beradab,
sehingga apa yang diungkapkan oleh Francis Bacon benar adanya bahwa ilmu adalah
kekuatan, tapi ilmu tanpa karakter menyesatkan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2.
Apa
saja 12 pilar keutamaan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh?
3.
Bagaimana
praktik pendidikan karakter dalam lingkup formal?
4.
Apa dampak
pendidikan karakter terhadap akademi anak?
C.
Tujuan dan Manfaat
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter.
2.
Menjelaskan
apa saja pilar-pilar keutamaan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.
3.
Menggambarkan
bagaimana praktik pendidikan karakter dalam lingkup formal
4.
Menjelaskan
dampak pendidikan karakter terhadap akademi anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pendidikan Karakter
Gagasan pendidikan karakter awalnya muncul sebagai reaksi kejumudan
pendidikan naturalis J.J Rosseau dan instrumentalis John Dewey. Pendidikan
naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi
intelektual dan cultural seorang pribadi. Seorang pedagog Jerman, F.W Foerster
(1869-1966) adalah penggagasnya pada awal abad 19. Dalam sejarah
perkembangannya, manusia memang tunduk pada hukum-hukum alami, namun kebebasan
yang dimiliki manusia memungkinkan dia menghayati kebebasan dan pertumbuhannya
mengatasi sekedar tuntutan fisik dan psikis semata.
Secara etimologis, pendidikan berasal dari kata pedagogia (Yunani)
yang terdiri dari paedos (anak) dan agoge (saya membimbing) yang
menunjuk kepada seorang pelayan pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya
mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah. Itulah sebabnya istilah
pedagogi dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak.
Menurut bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pendidikan
adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani
anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education
(1950:89-90) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah
kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Dari berbagai pengertian di
atas, pendidikan adalah suatu usaha sadar, sengaja, dan berkesinambungan dalam
rangka mengembangkan segala kemampuan yang ada pada setiap individu untuk
menjadi manusia seutuhnya dan dapat mengaktualisasikan dirinya dalam
masyarakat.
Sedangkan karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu karasso
berarti cetak biru, format dasar, sidik sehingga terbentuk sebuah pola. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah tabiat, sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti, yang membedakan satu sama lain, dengan kata lain watak.
Jadi, karakter dapat diartikan sebagai jati diri suatu individu yang terbentuk
dari akumulasi sikap, pola fikir, dan nilai etis yang diperolehnya.
Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontinu yang
selalu berubah. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi
seorang pribadi. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi
diukur. Ia menyebutkan ada empat cirri fundamental yang harus dimiliki sebagai
tolok ukurnya.
Pertama, keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai
menjadi pedoman normative setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi
keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun
rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas
seseorang.
Ketiga, otonomi. Ini
dimaksudkan sebagai kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari
luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui
penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia
melewati tahap individualitas menuju personalitas. “Orang-orang modern sering
mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan
aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang
menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Dalam mendefinisikan pendidikan karakter, para ahli memiliki
perspektif yang berbeda. Menurut Thomas Lickona, pemerhati pendidikan karakter,
Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is
objectively good human qualities are good for the individual person and good
for the whole society (Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar)
untuk mewujudkan kebajikan yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara
obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk
masyarakat secara keseluruhan.
Sutawi, salah satu pemerhati pendidikan Indonesia mengungkapkan
bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah proses penanaman nilai
untuk membantu siswa menjadi cerdas dan baik (smart and good) pada tiga
aspek yang meliputi kognitif (head) afektif (heart), dan
psikomotorik (hand).
Jadi, pendidikan karakter adalah proses penyadaran individu yang
disengaja untuk membentuk pribadi yang seutuhnya melalui penanaman nilai menuju
peradaban utama. Inilah yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai pendidikan yang
membangun watak melaui proses niteni, nirokke, dan nambahi, untuk
ngerti, ngrasa dan nglakoni.
Seringkali ada anggapan bahwa pendidikan karakter sama dengan
pendidikan moral. Secara substansial memang tidak ada perbedaan prinsipil.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pada pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih
dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
yang baik sehingga peserta didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau
melakukan yang baik.
Menurut Ratna Megawangi, pembedaan ini karena moral dan karakter
adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal
baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di drive
oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah
pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap
praktek pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu, terminology yang ramai
dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education)
bukan pendidikan moral (moral education).
Sejatinya, pendidikan karakter yang merupakan pedagogi lebih menekankan pada nilai-nilai. Nilai adalah salah satu motor penggerak sejarah dan perubahan sosial. Tanpa nilai maka tatanan peradaban manusia dapat menjadi binasa. Untuk itu, maka ada tiga matra dalam pembentukan pendidikan karakter, yaitu individu, sosial, dan moral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sejatinya, pendidikan karakter yang merupakan pedagogi lebih menekankan pada nilai-nilai. Nilai adalah salah satu motor penggerak sejarah dan perubahan sosial. Tanpa nilai maka tatanan peradaban manusia dapat menjadi binasa. Untuk itu, maka ada tiga matra dalam pembentukan pendidikan karakter, yaitu individu, sosial, dan moral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
1.
Individu
Dalam matra ini menyiratkan adanya nilai kebebasan dan tanggung
jawab. Nilai-nilai kebebasan menjadi prasyarat utama sebuah perilaku bermoral.
Yang menjadi subjek yang bertindak dan subjek moral adalah pribadi itu sendiri.
Sebab, meminjam istilah Mounir dalam bukunya The Character of Man (1956)
bahwa setiap keputusan merupakan tindakan kreatif dan bebas.
2.
Sosial
Ini berkaitan erat dengan korelasi antara individu dengan individu
lain, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam
mengorganisir dirinya sendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan
dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan
individu yang menjadi anggotanya. Termasuk adanya unsure kekuasaan dan politik
yang juga berpengaruh.
3.
Moral
Matra moral merupakan jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika
masyarakat sehingga masyarakat tersebut menjadi semakin berbudaya dan
bermartabat. Tanpa adanya matra ini, maka masyarakat akan hidup dalam sebuah
tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Hal ini bisa
mengakibatkan kondisi masyarakat yang chaos (gawat). Muncullah hukum
rimba “yang kuat akan makin berkuasa, yang lemah kan tersingkirkan.”
Jika itu semua dapat terpenuhi maka niscaya tujuan pendidikan
karakter dapat dicapai. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pendidikan yang tercantum
dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif.
B.
Etika Kant dan Pendidikan Karakter
Jika ditelisik lebih lanjut, maka pendidikan karakter tidak bisa
terlepas dari moralitas sebagai salah satu nilai yang dijunjung tinggi
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dan filsafat etika memenuhi penjabaran yang
cukup komprehensif mengenai moral dalam diri manusia. Salah satu filsuf yang
menaruh perhatian besar dalam bidang ini adalah Kant.
Menurut Kant, persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa
yang membuat manusia menjadi baik. Bukan lagi bagaimana seorang manusia itu
bisa menjadi bahagia. Yaitu, adanya kehendak baik dimana ada kemauan melakukan
apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri tanpa tendensi
apapun baik dari kontak inderawi maupun pengalaman. Ia menyebutnya sebagai
imperative kategoris.
Seperti yang ia ungkapkan dalam bukunya Grundlegung zur
Metaphysik der Sitten atau Foundation of the Metaphysics of Morals (1785) :
“Bertindaklah menurut kaidah dengan mana engkau dapat sekaligus menghendakinya
sebagai hukum universal.”
Kesadaran moral diawali dengan kewajiban yang bersifat mutlak.
Kewajiban ini hanya bisa dibebankan kepada manusia oleh pribadi lain yang juga
bersifat mutlak (Tuhan).
Dengan bertindak moral dan mengikuti suara hati (praktische
Vernunft) berarti manusia mengakui kehadiran Tuhan. Dalam hati manusia
menyadari tuntutan Tuhan yang memberi dan manjamin hukum abadi.
Bagi Kant, suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yang
secara mutlak mengikat manusia pada kewajibannya. Menurut Kant, kesadaran moral
mewajibkan kita untuk menguasahakan commum bonum (kebaikan tertinggi)
atau kebahagiaan sempurna. Kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir tersebut,
tidak pernah terealisasikan sempurna di dunia karena adanya kejahatan.
Agar kebaikan moral manusia bisa membentuk hubungan dengan
kebahagiaan sempurna, menurut Kant, kita harus menerima asumsi (postulat)
tentang adanya:
1.
Kebebasan
kehendak
Hukum moral adalah hukum dimana kita bertindak berdasarkan prinsip
yang kita yakini sendiri (otonomi). Berkat kebebasan kehendak inilah kita mampu
melakukannya.
2.
Keabadian
jiwa
Manusia sebagai pelaku tindakan moral bisa mencapai “kebebasan
tertinggi” atau kebahagiaan sempurna yang tidak dicapai di dunia.
3.
Tuhan
Jika Tuhan ditolak eksistensinya, maka moralitas tidak memiliki
arti, karena “nasib” orang yang hidupnya baik secara moral akan sama saja
dengan “nasib” orang jahat, sehingga untuk apa kita hidup baik?
Moralitas bagi Kant adalah masalah keyakinan dan sikap batin, bukan
sekedar penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, negaram
agama). Ketaatan pada peraturan belum menjamin
kualitas moral. Maka ucapan pada karyanya Kritik der praktischer
Vernhunft yang terukir di prasasti Kant di Konisberg, Jerman menjadi sebuah
refleksi:
“Zwei
Dinge erfullen das Gemutmit immer neuer und zunehmender Bewunderung und
Ehrfurcht, je ofter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt: der
bestirnte Himmel uber mir und das moralische Gesetz in mir.”
(Dua
hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru
dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri tanpa
henti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku)
Oleh karenanya pendidikan karakter satu nafas dengan apa yang
digagas oleh Kant. Sebagai makhluk yang bebas untuk berkehendak, maka
pendidikan juga harus bisa menjadikan individu sebagai manusia yang merdeka.
Dalam arti dia bisa memilih dan menentukan kehendak dan
keputusannya sendiri dengan kesadarannya. Sehingga ia dapat menegaskan dirinya
sebagai makhluk yang bermoral yang tercermin dari nilai-nilai yang menjadi
bagian keyakinan hidupnya. Namun, dalam praktiknya pendidikan karakter belum
menyentuh konsep yang dicetuskan Kant.
C.
12 Pilar Keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh
Pendidikan karakter utuh dan
menyeluruh menawarkan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk
membentuk karakter individu menjadi pribadi berkeutamaan. Pilihan prioritas
keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar
bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra
individua, matra sosial, dan matra moral. 12 Pilar Keutamaan menurut Doni Koesoema A adalah
sebagai berikut:
1.
Penghargaan terhadap tubuh
Penghargaan terhadap tubuh merupakan
keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang.
Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan
individu menjaga dan merawat kesehatan jasmani tiap individu. Kesehatan jasmani
merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. Pendidikan
karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga
tubuhnya satu sama lain, tidak merusaknya, melainkan membuat keberadaan tubuh
tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan
terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan
pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri
keinginan untuk merawat tubuh diri dan orang lain, termasuk pertumbuhan
psikologis dan emosionalnya.
2.
Transendental
Pengembangan keutamaan
transendental, baik itu yang sifatnya religius, keagamaan, maupun yang sublim,
seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan
refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran yang Illahi merupakan dasar
bagi pengembangan pembentukan karakter. Setiap individu dianugerahi kepekaan
akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi
manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan akan yang Kudus, yang
transenden, yang baik, yang indah, baik itu dalam diri manusia maupun di alam,
merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi
berkeutamaan.
3.
Keunggulan akademik
Keunggulan akademik adalah tujuan
dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar
lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya, cinta akan ilmu,
kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian
itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki
keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi
dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa
yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa
kepenasaranan intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya
ilmu pengetahuan. Dari kecintaan akan ilmu inilah akan tumbuh inovasi, kreasi
dan pembaharuan dalam bidang keilmuan.
4.
Penguasaan diri
Penguasaan diri merupakan kemampuan
individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh
dorongan emosi itu pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi.
Penguasaan diri termasuk di dalamnya kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau
menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang
tepat sebagaimana akal budi membimbingnya. Penguasaan diri termasuk di dalamnya
kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak dan berkata-kata secara
bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu.
5.
Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan yang
memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merelisasikan apa yang
dicita-citakannya. Keberanian termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban
demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja
keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai
dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu
mewujudnyatakan dan merealisasikan impiannya.
6.
Cinta kebenaran
Cinta akan kebenaran merupakan dasar
pembentukan karakter yang baik, bukan sekedar sebagai seorang pembelajar,
melainkan juga sebagai manusia. Manusia merindukan kebenaran dan dengan akal
budinya manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini
sebagai kebenaran. Prinsip berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi
praksis individu maupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang
sejati memungkinkan seseorang itu berani mengorbankan dirinya sendiri demi
kebenaran yang diyakininya. Sebab, keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah
yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter.
7.
Terampil
Memiliki berbagai macam kompetensi
dan keterampilan yang dibutuhkan, bagi bagi perkembangan individu maupun dalam
kerangka pengembangan profesional menjadi syarat utama pengembangan pendidikan
karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan
maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi
keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang
individu mampu mengubah dunia.
8.
Demokratis
Masyarakat global hidup dalam
kebersamaan dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk saling membutuhkan, bahu
membahu satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab
keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Karena itu,
setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan
kehidupan secara bersama, sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat
tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam
kebersamaan untuk mengatur kehidupannya sehingga individu dapat bertumbuh sehat
dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan
semangat kebangsaan.
9.
Menghargai perbedaan
Perbedaan adalah kodrat manusia.
Menghargai perbedaan merupakan sikap fundamental yang mesti ditumbuhkan dalam
diri individu. Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia,
menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri tiap individu, karena negara
kita ini berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan, dan dalam
perbedaan itu mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun
bangsa.
10. Tanggung jawab
Tanggungjawab merupakan unsur
penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi
kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini
memiliki tiga dimensi, yaitu tanggungjawab kepada (relasi antara individu
dengan orang lain), tanggungjawab bagi (hubungan individu dengan dirinya
sendiri), serta tanggungjawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas
dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat).
11. Keadilan
Bersikap adil, serta mau
memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter.
Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan
untuk antisosial. Untuk itulah diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu
dihargai. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah
tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan,
banyak hak-hak orang lain dilanggar.
12. Integritas moral
Integritas moral merupakan sasaran
utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter. Integritas moral inilah
yang menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat yang plural mampu
bekerjasama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil
dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki.
Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan
martabat manusia sebagai mahluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun
keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral
menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. Integritas
moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses
pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara
bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral
termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang
bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain.
D.
Praktik Pendidikan Karakter dalam Lingkup Formal
Pembentukan karakter tiap individu bukanlah perkara yang mudah. Dia
dibangun dari berbagai aspek yang mendukungnya dan melalui proses yang
berkelanjutan dan komitmen yang kuat, bahwa karakter pribadi berpegang teguh
pada prinsip yang melatarbelakangi oleh arti kehidupan, cita-cita dan hubungan
antar manusia (mentalitas).
Ada banyak sarana untuk penanaman pendidikan karakter, mulai dari
keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat. Keluarga adalah tempat awal
untuk pembentukan karakter yang kemudian dilanjutkan sekolah dan juga didukung
oleh lingkungan masyarakat. Semuanya memiliki relasi yang erat ibarat ikatan
rantai yang tidak putus. Pembentukan karakter sebaiknya ditanamkan sejak dini
karena itu akan terpatri dalam pribadi tiap individu.
Sekolah adalah salah satu institusi pendidikan yang memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan karakter seseorang. Hampir setiap
anak menghabiskan sebagian besar waktu kesehariannya di sekolah. Sehingga tak
pelak lagi, sekolah memiliki tanggung jawab besar sebagai wadah untuk
pembentukan karakter.
Pendidikan formal saat ini memang belum dapat dikatakan memiliki
karakteristik pendidikan karakter. Dalam tataran praksis, pengajaran belum
sampai kepada pembelajaran. Rata-rata para guru sebatas mengajarkan hafalan
yang tidak lebih hanya menghasilkan peserta didik yang meng-copy paste
pelajaran. Ujian tidak mampu mengeksplorasi pemikiran kritis, argumentative
berbasis logika yang kuat.
Pendidikan karakter di sini bukan berarti menjadikannya sebagai
mata pelajaran baru. Tetapi, ia terintegrasi dalam semua mata pelajaran dimana
materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap
mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari (hidden curriculum). Sehingga pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Skema di atas menggambarkan bahwa salah satu unsur yang penting
dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai sehingga peserta didik
memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai yang akan menjadi pemandu
perilakunya. Proses diseminasi nilai tidak hanya dapat dilakukan secara
langsung di dalam kelas melalui proses belajar mengajar tapi juga bisa
menggunakan sarana lain, seperti perencanaan kurikulum, memanfaatkan
momen-momen tertentu (locus educationist), mengundang pembicara luar
dalam sebuah seminar, dsb. Selain itu, keteladanan juga menjadi kunci penting
dalam keberhasilan pendidikan karakter.
Guru yang dalam bahasa jawa berarti digugu lan ditiru menjadi
jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi dalam mengajarkan
pendidikan karakter tidak hanya sekedar melalui apa yang dikatakan melalui
pembelajaran di kelas melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru
dalam kehidupan nyata di luar kelas.
Untuk itu, lembaga pendidikan harus memiliki prioritas dan tuntutan
dasar atas karakter yang ingin diterapkan di lingkungan mereka. Tanpa adanya
prioritas yang jelas, proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan
karakter akan menjadi tidak jelas.
Unsur yang tak kalah penting juga adalah bukti dilaksanakannya
prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Sekolah harus mampu membuat
verifikasi sejauh mana visi tersebut telah dapat direalisasikan. Realisasi visi
dalam kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk mempertanggung jawabkan
pendidikan karakter di hadapan public. Karakter yang ingin dibentuk oleh
sekolah melalui berbagai macam program dan kebijakan harus senantiasa
dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis.
Seperti yang diungkapkan Socrates, “hidup yang tidak direfleksikan
merupakan hidup yang tidak layak dihayati.” Untuk itu, perlu dilihat apakah
para siswa setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan
menyampaikan refleksi pribadi-pribadinya terhadap teman-temannya atau apakah
ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya
bisa diterbitkan dalam jurnal, madding sekolah, dll.
Seperti dalam sebuah film Freedomwriters dimana para peserta
didiknya menulis peristiwa setiap hari yang dialami baik di dalam maupun luar
lingkungan sekolah dalam jurnal pribadi yang nantinya akan dibaca oleh sang
guru. Alhasil, guru tersebut bisa memahami cara berfikir dan merasakan perasaan
setiap peserta didik juga mengenal lebih dekat karakter masing-masing.
Dalam memberikan penilaian terhadap pendidikan karakter tidak hanya
diserahkan pada guru saja tapi juga harus ada interaksi antara peserta didik
dan guru untuk menghindari subjektifitas dan membangun relasi yang baik antar
keduanya. Yang utama dinilai adalah praksis, yaitu tindakan dan perilaku nyata
yang terjadi dalam kehidupan sekolah.
Adapun kriteria penilaian pendidikan karakter dapat dilihat dari
kuantitas kehadiran (untuk mengevaluasi tanggung jawab terhadap tugas yang
diemban); jumlah peserta didik yang tepat mengumpulkan tugas; tidak terlibat
tawuran, narkoba, dan tindakan kekerasan lainnya; prestasi akademis yang baik;
dihargainya nilai kejujuran seperti tidak mencontek.
Sebetulnya di dalam laporan perkembangan seperti rapor telah ada
kolom khusus untuk penilaian terhadap perilaku siswa. Namun terkadang wali
kelas masih belum serius untuk menggunakannya sebagai media yang tepat.
Catatan-catatan tersebut hanya sebatas penghias belaka. Oleh karenanya, perlu
adanya keseriusan dari pihak sekolah untuk menyukseskan pendidikan karakter.
Bahkan penilaian perilaku siswa juga bisa dijadikan indikasi dalam
penentuan kelulusan atau kenaikan peserta didik. Pelaksanaan secara konsisten
dengan kesepakatan bersama tanpa mengistimewakan atau mengecualikan seorang pun
akan membuat sekolah sebagai komunitas belajar stabil dan membantu pertumbuhan
setiap individu di dalam lingkungan sekolah.
E.
Liberal Arts dan
Pendidikan Karakter
Di Indonesia, gagasan pendidikan karakter sebetulnya sudah bukan
hal yang baru lagi. Tokoh pendidikan nasional seperti : Ki Hajar Dewantoro, R.A
Kartini, Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka, dsb telah berupaya untuk membangun
watak bangsa melalui semangat pendidikan karakter. Bahkan sebelum Indonesia merdeka,
Soekarno menyatakan bahwa tidak ada kemerdekaan jika mentalitas bangsa tidak
ada semangat dan kemauan untuk merdeka. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut:
“Djikalau
kita ingin mendidik rakjat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, djikalau
kita ingin mendidik rakjat Indonesia menjadi tuan di atas dirinja sendiri, maka
pertama-tama haruslah kita membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam
hati sanubari rakjat Indonesia itu ia punja Roch dan Semangat menjadi
Roch-Merdeka dan Semangat Merdeka jang sekeras-kerasnya, jang harus pula kita
hidup-hidupkan mendjadi api kemauan-merdeka jang sehidup-hidupnja! Sebab hanya
Roch-Merdeka dan Semangat-Merdeka jang sudah bangkit mendjadi Kemauan Merdeka
sadjalah jang dapat melahirkan sesuatu perbuatan-Merdeka jang berhasil.” (dalam
Suluh Indonesia Muda, 1928)
Kemudian, pendidikan karakter kembali di bumikan untuk memperingati
hari Pendidikan Nasional 2010 lalu dapat menjadi tonggak awal untuk mengembalikan
kembali pendidikan pada hakikatnya. Sekali lagi bahwa kemajuan suatu negara
sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara
tersebut.
Kualitas sumber daya manusia yang ada pada suatu negara
sangatditentukan oleh kemajuan pendidikan yang dicapainya. Tentunya kebijakan
pendidikan yang dilakukan oleh suatu negara hendaknya menunjukkan berbagai
perubahan-perubahan yang menuju ke arah perbaikan masyarakatnya dalam berbagai
bidang terutama nilai moralnya. Perubahan tersebut hendaknya ke arah yang lebih
baik. Arah perubahan tersebut sangat bergantung dari kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah dan kemauan baik setiap warga negaranya.
Hal ini karena pendidikan yang ada saat ini lebih mengedepankan pada
aspek kognitif saja, dan melalaikan aspek efektif (karakter) dan psikomotorik
(tingkah laku). Moral hanya menjadi kepentingan guru agama saja. Para orang tua
lebih senang anaknya mendapat nilai 10 dalam setiap pelajaran dibandingkan
mengetahui perkembangan perilaku anak di sekolah. Masyarakat yang semakin
individualis seolah semakin tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Tidak ada
hubungan harmonis antar semuanya.
Pendidikan liberal arts sebenarnya menekankan pada
pengembangan kemampuan berpikir dan menalar, yakni pengolahan kompetensi untuk
menemukan dasar rasional bagi suatu gagasan dan sikap, di samping juga mengolah
kompetensi-kompetensi yang umum dan mendasar. Umum artinya tidak spesifik atau
khusus; mendasar artinya esensial dan
tidak pragmatis. Pendidikan liberal arts juga mencakup keseluruhan
dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk yang menalar,
berinteraksi dan berkembang, dan menciptakan individu yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab.
Konsep dan paradigma liberal arts dalam pendidikan telah lam
diterapkan di Eropa sejak sebelum peristiwa renaissance yang mereformasi
kultur ilmiah di Barat. Penerapannya murni pada pengembangan disiplin keilmuan
yang tidak terkait dengan kepentingan dan sistem tertentu, seperti : bahasa, filsafat,
sejarah, sastra, dan sains abstrak. Pendidikan liberal arts memberikan
bekal pada individu untuk memiliki kemampuan membaca kehidupan, dan
mengapresiasinya sebagai pengalaman spasial-temporal yang terbatas dan singkat.
Liberal arts dan pendidikan
karakter memiliki ruh yang sama yakni sama-sama memperhatikan prinsip moralitas
dan humanisme. Hal ini diperkuat oleh Woodhouse, A.S.P. dalam karyanya The
Nature of Humanities: Historical Perspective bahwa pendidikan humaniora
mempunyai fungsi pengembangan humanitas dalam diri manusia. Mungkin Plato cukup
menyadari sifat memikat filsafat (dan beasiswa) ketika ia mempresentasikan
alegori gua. Gua ini merupakan dunia kehidupan sehari-hari, dan jika gua berisi
tahanan yang dirantai dan dipaksa untuk melihat bayangan, maka untuk Plato atau
orang berpendidikan secara bebas, adalah kembali ke gua dan mencoba untuk
membebaskan mereka. Liberal arts atau sering disebut dengan pendidikan
klasik memang belum popular di Indonesia. Karena idealis yang sama, maka
pendidikan karakter bisa menjadi nama tengah Liberal Arts di Indonesia.
Thomas Lickona dan para pegiat pendidikan karakter mencoba
melukiskan pilar-pilar penting karakter dalam gambar dengan menunjukkan hubungan
sinergis antara keluarga (home), sekolah (school), masyarakat (community)
dan dunia usaha (business).
Sembilan unsur karakter dalam gambar tersebut meliputi unsur-unsur
karakter inti (core characters) sebagai berikut:
1.
Responsibility
(tanggung jawab)
2.
Respect (rasa hormat)
3.
Fairness (keadilan)
4.
Courage ( keberanian)
5.
Honesty (belas kasih)
6.
Citizenship (kewarganegaraan)
7.
Self-descipline (disiplin diri)
8.
Caring (peduli)
9.
Perseverance (ketekunan)
Melalui
Sembilan unsur tersebut pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan kognitif
semata, namun lebih mengarahkan seseorang agar menjadi manusia seutuhnya, yakni
manusia yang mampu memaksimalkan rasio dan hati nurani, atau dalam bahasa Kant
disebut mampu Akal Budi Murni dan Akal Budi Praktis. Kemampuan untuk
mengkombinasikan keduanya merupakan sebuah harapan bagi pendidikan di
Indonesia, sehingga nantinya tidak terjebak pada pendidikan yang membentuk
mesin-mesin hidup yang menggiring manusia ke dunia yang tidak dikenali, atau
disebut dunia alienasi.
Pendidikan
karakter bisa menjadi alternative untuk menjawab tantangan globalisasi yang
dapat membangun keberadaan bangsa. Karena pendidikan karakter ingin membentuk
individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan
tanggung jawabnya dalam hubungannya dengan orang lain maupun dunianya. Sekali
lagi manusia sebagai agen perjalanan sejarahnya sendirilah yang bisa
memutuskannya. Bukankah dalam lirik lagu Indonesia Raya karya W.R Supratman
terlihat secara gambling, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Semua
dapat kita awali dari diri sendiri, hal terkecil, dan saat ini.
F.
Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi Anak
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak
pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian
bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan
penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator,
yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan
bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis,
menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik
pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan
drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan
akademik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan
(action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara
sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas
emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam
menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and
School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil
penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan
di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan
anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak
pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan
bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan
kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan
seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi,
dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar,
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini
sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau
mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang
dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks
bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar
dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak
mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan
aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua
yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau
karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi
dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan
pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan
hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan
ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya
cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian
besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di
sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa
“bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi
dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk
“10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya
berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini
anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang
berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan
menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan
mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat
perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah,
dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang
urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD,
SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami
ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia.
a.
Mahatma
Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education
without character”(pendidikan tanpa karakter).
b.
Dr.
Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is
the goal of true education” (Kecerdasan plus
karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).
c.
Juga
Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society” (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman
mara-bahaya kepada masyarakat)..
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Proses panjang menuju pembentukan manusia seutuhnya di tempuh
melalui jalur pendidikan karakter. Sebuah terobosan agar pendidikan berjalan
seimbang, tidak hanya mengedepankan intelektual tanpa diimbangi pembentukan
karakter. Manusia hakikatnya adalah makhluk bermoral, namun terkadang ada nafsu
yang sering menjadi pengganggunya. Sebagaimana moral Kant yang menjunjung
tinggi kebebasan berkehendak, maka dengan membebaskan manusia untuk berproses
dalam pendidikan serta tidak membuat sekat-sekat akademik justru menjadikan
manusia kembali pada kesadaran penuh tentang makna kehidupan.
B.
Saran
Seharusnya, dalam memberikan penilaian terhadap pendidikan karakter
tidak hanya diserahkan pada guru saja tapi juga harus ada interaksi antara
peserta didik dan guru untuk menghindari subjektifitas dan membangun relasi
yang baik antar keduanya. Yang utama dinilai adalah praksis, yaitu tindakan dan
perilaku nyata yang terjadi dalam kehidupan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
A, Doni Koesoma, Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, Jakarta : Grasindo, 2010