Jumat, 31 Mei 2013

Menjadi Manusia Seutuhnya Melalui Pendidikan Karakter


BAB I

PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang


Beberapa tahun terakhir, Indonesia seakan menjadi negara yang tidak lagi memiliki ruh karakter kebangsaan. Berbagai persoalan yang muncul seperti korupsi yang merajalela dari pejabat tingkat atas hingga grass root, budaya mencontek, tawuran antar kelompok, skandal suap, pergaulan bebas, etos kerja rendah hilangnya budaya gotong royong, dan sebagainya menjadi pertanda bahwa negara ini benar-benar sedang mengalami pengeroposan sendi-sendi kebangsaan. Tidak ada lagi kebanggaan generasi bangsa terhadap negerinya sendiri karena terlalu kebarat-baratan.

Krisis multimedimensi ini menjadi persoalan urgen bangsa ini dan mendesak untuk segera ditemukan obat penawarnya. Jika dibiarkan berlarut maka tak ayal lagi beberapa tahun ke depan negeri ini hanya tinggal nama yang tertulis dalam sejarah. Dan pendidikan bisa menjadi salah satu wadah yang efektif dan strategis untuk meneguhkan kembali jati diri bangsa.

Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang tidak hanya menitik beratkan pada aspek akademis belaka tapi  juga terdapat prinsip humanis yang terintegrasi dengan moralitas. Liberal Arts adalah pendidikan yang mengakomodir itu semua. Pendidikan yang muncul sebelum abad renaissance ini bisa menjadi jalan tengah karena mengembalikan hakikat manusia sebagai subjek yang bebas untuk memilih apa yang diinginkannya.

Sejalan dengan itu, pendidikan karakter yang juga memiliki prinsip yang hampir sama bisa menjadi pilihan alternative untuk proses pendidikan Liberal Arts. Bukankah hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia bukan pencipta robot-robot intelektual dan penghias menara gading pendidikan? Karakter menjadi penting karena dengannya individu menjadi semakin beradab, sehingga apa yang diungkapkan oleh Francis Bacon benar adanya bahwa ilmu adalah kekuatan, tapi ilmu tanpa karakter menyesatkan.   



B.     Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?

2.      Apa saja 12 pilar keutamaan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh?

3.      Bagaimana praktik pendidikan karakter dalam lingkup formal?

4.      Apa dampak pendidikan karakter terhadap akademi anak?



C.     Tujuan dan Manfaat


1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter.

2.      Menjelaskan apa saja pilar-pilar keutamaan pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh.

3.      Menggambarkan bagaimana praktik pendidikan karakter dalam lingkup formal

4.      Menjelaskan dampak pendidikan karakter terhadap akademi anak.





BAB II

PEMBAHASAN


A.     Sejarah Pendidikan Karakter


Gagasan pendidikan karakter awalnya muncul sebagai reaksi kejumudan pendidikan naturalis J.J Rosseau dan instrumentalis John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan cultural seorang pribadi. Seorang pedagog Jerman, F.W Foerster (1869-1966) adalah penggagasnya pada awal abad 19. Dalam sejarah perkembangannya, manusia memang tunduk pada hukum-hukum alami, namun kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan dia menghayati kebebasan dan pertumbuhannya mengatasi sekedar tuntutan fisik dan psikis semata.

Secara etimologis, pendidikan berasal dari kata pedagogia (Yunani) yang terdiri dari paedos (anak) dan agoge (saya membimbing) yang menunjuk kepada seorang pelayan pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar anak.

Menurut bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah segala daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950:89-90) mengungkapkan bahwa pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Dari berbagai pengertian di atas, pendidikan adalah suatu usaha sadar, sengaja, dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan segala kemampuan yang ada pada setiap individu untuk menjadi manusia seutuhnya dan dapat mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat.

Sedangkan karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu karasso berarti cetak biru, format dasar, sidik sehingga terbentuk sebuah pola. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah tabiat, sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, yang membedakan satu sama lain, dengan kata lain watak. Jadi, karakter dapat diartikan sebagai jati diri suatu individu yang terbentuk dari akumulasi sikap, pola fikir, dan nilai etis yang diperolehnya.

Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontinu yang selalu berubah. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Ia menyebutkan ada empat cirri fundamental yang harus dimiliki sebagai tolok ukurnya.

Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normative setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Ini dimaksudkan sebagai kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. “Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Dalam mendefinisikan pendidikan karakter, para ahli memiliki perspektif yang berbeda. Menurut Thomas Lickona, pemerhati pendidikan karakter, Character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is objectively good human qualities are good for the individual person and good for the whole society (Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.

Sutawi, salah satu pemerhati pendidikan Indonesia mengungkapkan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah proses penanaman nilai untuk membantu siswa menjadi cerdas dan baik (smart and good) pada tiga aspek yang meliputi kognitif (head) afektif (heart), dan psikomotorik (hand).

Jadi, pendidikan karakter adalah proses penyadaran individu yang disengaja untuk membentuk pribadi yang seutuhnya melalui penanaman nilai menuju peradaban utama. Inilah yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai pendidikan yang membangun watak melaui proses niteni, nirokke, dan nambahi, untuk ngerti, ngrasa dan nglakoni.

Seringkali ada anggapan bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan moral. Secara substansial memang tidak ada perbedaan prinsipil. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.

Menurut Ratna Megawangi, pembedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di drive oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu, terminology yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). 
Sejatinya, pendidikan karakter yang merupakan pedagogi lebih menekankan pada nilai-nilai. Nilai adalah salah satu motor penggerak sejarah dan perubahan sosial. Tanpa nilai maka tatanan peradaban manusia dapat menjadi binasa. Untuk itu, maka ada tiga matra dalam pembentukan pendidikan karakter, yaitu individu, sosial, dan moral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

1.         Individu

Dalam matra ini menyiratkan adanya nilai kebebasan dan tanggung jawab. Nilai-nilai kebebasan menjadi prasyarat utama sebuah perilaku bermoral. Yang menjadi subjek yang bertindak dan subjek moral adalah pribadi itu sendiri. Sebab, meminjam istilah Mounir dalam bukunya The Character of Man (1956) bahwa setiap keputusan merupakan tindakan kreatif dan bebas.


2.         Sosial

Ini berkaitan erat dengan korelasi antara individu dengan individu lain, atau dengan lembaga lain yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinya sendiri. Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi anggotanya. Termasuk adanya unsure kekuasaan dan politik yang juga berpengaruh.


3.         Moral

Matra moral merupakan jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika masyarakat sehingga masyarakat tersebut menjadi semakin berbudaya dan bermartabat. Tanpa adanya matra ini, maka masyarakat akan hidup dalam sebuah tirani kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan. Hal ini bisa mengakibatkan kondisi masyarakat yang chaos (gawat). Muncullah hukum rimba “yang kuat akan makin berkuasa, yang lemah kan tersingkirkan.”

Jika itu semua dapat terpenuhi maka niscaya tujuan pendidikan karakter dapat dicapai. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif.



B.     Etika Kant dan Pendidikan Karakter


Jika ditelisik lebih lanjut, maka pendidikan karakter tidak bisa terlepas dari moralitas sebagai salah satu nilai yang dijunjung tinggi sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Dan filsafat etika memenuhi penjabaran yang cukup komprehensif mengenai moral dalam diri manusia. Salah satu filsuf yang menaruh perhatian besar dalam bidang ini adalah Kant.

Menurut Kant, persoalan yang menentukan dalam moralitas adalah apa yang membuat manusia menjadi baik. Bukan lagi bagaimana seorang manusia itu bisa menjadi bahagia. Yaitu, adanya kehendak baik dimana ada kemauan melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri tanpa tendensi apapun baik dari kontak inderawi maupun pengalaman. Ia menyebutnya sebagai imperative kategoris.

Seperti yang ia ungkapkan dalam bukunya Grundlegung zur Metaphysik der Sitten atau Foundation of the Metaphysics of Morals (1785) : “Bertindaklah menurut kaidah dengan mana engkau dapat sekaligus menghendakinya sebagai hukum universal.”

Kesadaran moral diawali dengan kewajiban yang bersifat mutlak. Kewajiban ini hanya bisa dibebankan kepada manusia oleh pribadi lain yang juga bersifat mutlak (Tuhan).

Dengan bertindak moral dan mengikuti suara hati (praktische Vernunft) berarti manusia mengakui kehadiran Tuhan. Dalam hati manusia menyadari tuntutan Tuhan yang memberi dan manjamin hukum abadi.

Bagi Kant, suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia pada kewajibannya. Menurut Kant, kesadaran moral mewajibkan kita untuk menguasahakan commum bonum (kebaikan tertinggi) atau kebahagiaan sempurna. Kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir tersebut, tidak pernah terealisasikan sempurna di dunia karena adanya kejahatan.

Agar kebaikan moral manusia bisa membentuk hubungan dengan kebahagiaan sempurna, menurut Kant, kita harus menerima asumsi (postulat) tentang adanya:

1.         Kebebasan kehendak

Hukum moral adalah hukum dimana kita bertindak berdasarkan prinsip yang kita yakini sendiri (otonomi). Berkat kebebasan kehendak inilah kita mampu melakukannya.


2.         Keabadian jiwa

Manusia sebagai pelaku tindakan moral bisa mencapai “kebebasan tertinggi” atau kebahagiaan sempurna yang tidak dicapai di dunia.


3.         Tuhan  

Jika Tuhan ditolak eksistensinya, maka moralitas tidak memiliki arti, karena “nasib” orang yang hidupnya baik secara moral akan sama saja dengan “nasib” orang jahat, sehingga untuk apa kita hidup baik?

Moralitas bagi Kant adalah masalah keyakinan dan sikap batin, bukan sekedar penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adat istiadat, negaram agama). Ketaatan pada peraturan belum menjamin  kualitas moral. Maka ucapan pada karyanya Kritik der praktischer Vernhunft yang terukir di prasasti Kant di Konisberg, Jerman menjadi sebuah refleksi:

Zwei Dinge erfullen das Gemutmit immer neuer und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, je ofter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschaftigt: der bestirnte Himmel uber mir und das moralische Gesetz in mir.”

(Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senantiasa baru dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri tanpa henti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku)


Oleh karenanya pendidikan karakter satu nafas dengan apa yang digagas oleh Kant. Sebagai makhluk yang bebas untuk berkehendak, maka pendidikan juga harus bisa menjadikan individu sebagai manusia yang merdeka.

Dalam arti dia bisa memilih dan menentukan kehendak dan keputusannya sendiri dengan kesadarannya. Sehingga ia dapat menegaskan dirinya sebagai makhluk yang bermoral yang tercermin dari nilai-nilai yang menjadi bagian keyakinan hidupnya. Namun, dalam praktiknya pendidikan karakter belum menyentuh konsep yang dicetuskan Kant.

C.     12 Pilar Keutamaan Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh


Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menawarkan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk membentuk karakter individu menjadi pribadi berkeutamaan. Pilihan prioritas keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra individua, matra sosial, dan matra moral. 12 Pilar Keutamaan menurut Doni Koesoema A adalah sebagai berikut:

1.      Penghargaan terhadap tubuh

Penghargaan terhadap tubuh merupakan keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang. Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan individu menjaga dan merawat kesehatan jasmani tiap individu. Kesehatan jasmani merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. Pendidikan karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga tubuhnya satu sama lain, tidak merusaknya, melainkan membuat keberadaan tubuh tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri keinginan untuk merawat tubuh diri dan orang lain, termasuk pertumbuhan psikologis dan emosionalnya.


2.      Transendental

Pengembangan keutamaan transendental, baik itu yang sifatnya religius, keagamaan, maupun yang sublim, seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran yang Illahi merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter. Setiap individu dianugerahi kepekaan akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan akan yang Kudus, yang transenden, yang baik, yang indah, baik itu dalam diri manusia maupun di alam, merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi berkeutamaan.


3.      Keunggulan akademik

Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya, cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa kepenasaranan intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya ilmu pengetahuan. Dari kecintaan akan ilmu inilah akan tumbuh inovasi, kreasi dan pembaharuan dalam bidang keilmuan.


4.      Penguasaan diri

Penguasaan diri merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh dorongan emosi itu pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang tepat sebagaimana akal budi membimbingnya. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak dan berkata-kata secara bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu.


5.      Keberanian

Keberanian merupakan keutamaan yang memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merelisasikan apa yang dicita-citakannya. Keberanian termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu mewujudnyatakan dan merealisasikan impiannya.


6.      Cinta kebenaran

Cinta akan kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik, bukan sekedar sebagai seorang pembelajar, melainkan juga sebagai manusia. Manusia merindukan kebenaran dan dengan akal budinya manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Prinsip berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi praksis individu maupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang sejati memungkinkan seseorang itu berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Sebab, keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter.


7.      Terampil

Memiliki berbagai macam kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan, bagi bagi perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan profesional menjadi syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang individu mampu mengubah dunia.


8.      Demokratis

Masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk saling membutuhkan, bahu membahu satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Karena itu, setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan kehidupan secara bersama, sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam kebersamaan untuk mengatur kehidupannya sehingga individu dapat bertumbuh sehat dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat kebangsaan.


9.      Menghargai perbedaan

Perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaan merupakan sikap fundamental yang mesti ditumbuhkan dalam diri individu. Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri tiap individu, karena negara kita ini berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan, dan dalam perbedaan itu mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun bangsa.


10.  Tanggung jawab

Tanggungjawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini memiliki tiga dimensi, yaitu tanggungjawab kepada (relasi antara individu dengan orang lain), tanggungjawab bagi (hubungan individu dengan dirinya sendiri), serta tanggungjawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat).


11.  Keadilan

Bersikap adil, serta mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Untuk itulah diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu dihargai. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan, banyak hak-hak orang lain dilanggar.


12.  Integritas moral

Integritas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter. Integritas moral inilah yang menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat yang plural mampu bekerjasama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai mahluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. Integritas moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain.





D.     Praktik Pendidikan Karakter dalam Lingkup Formal


Pembentukan karakter tiap individu bukanlah perkara yang mudah. Dia dibangun dari berbagai aspek yang mendukungnya dan melalui proses yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat, bahwa karakter pribadi berpegang teguh pada prinsip yang melatarbelakangi oleh arti kehidupan, cita-cita dan hubungan antar manusia (mentalitas).

Ada banyak sarana untuk penanaman pendidikan karakter, mulai dari keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat. Keluarga adalah tempat awal untuk pembentukan karakter yang kemudian dilanjutkan sekolah dan juga didukung oleh lingkungan masyarakat. Semuanya memiliki relasi yang erat ibarat ikatan rantai yang tidak putus. Pembentukan karakter sebaiknya ditanamkan sejak dini karena itu akan terpatri dalam pribadi tiap individu.

Sekolah adalah salah satu institusi pendidikan yang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan karakter seseorang. Hampir setiap anak menghabiskan sebagian besar waktu kesehariannya di sekolah. Sehingga tak pelak lagi, sekolah memiliki tanggung jawab besar sebagai wadah untuk pembentukan karakter.

Pendidikan formal saat ini memang belum dapat dikatakan memiliki karakteristik pendidikan karakter. Dalam tataran praksis, pengajaran belum sampai kepada pembelajaran. Rata-rata para guru sebatas mengajarkan hafalan yang tidak lebih hanya menghasilkan peserta didik yang meng-copy paste pelajaran. Ujian tidak mampu mengeksplorasi pemikiran kritis, argumentative berbasis logika yang kuat.

Pendidikan karakter di sini bukan berarti menjadikannya sebagai mata pelajaran baru. Tetapi, ia terintegrasi dalam semua mata pelajaran dimana materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari (hidden curriculum). Sehingga pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Skema di atas menggambarkan bahwa salah satu unsur yang penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai sehingga peserta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai yang akan menjadi pemandu perilakunya. Proses diseminasi nilai tidak hanya dapat dilakukan secara langsung di dalam kelas melalui proses belajar mengajar tapi juga bisa menggunakan sarana lain, seperti perencanaan kurikulum, memanfaatkan momen-momen tertentu (locus educationist), mengundang pembicara luar dalam sebuah seminar, dsb. Selain itu, keteladanan juga menjadi kunci penting dalam keberhasilan pendidikan karakter.

Guru yang dalam bahasa jawa berarti digugu lan ditiru menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak hanya sekedar melalui apa yang dikatakan melalui pembelajaran di kelas melainkan nilai itu juga tampil dalam diri sang guru dalam kehidupan nyata di luar kelas.

Untuk itu, lembaga pendidikan harus memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin diterapkan di lingkungan mereka. Tanpa adanya prioritas yang jelas, proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter akan menjadi tidak jelas.

Unsur yang tak kalah penting juga adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Sekolah harus mampu membuat verifikasi sejauh mana visi tersebut telah dapat direalisasikan. Realisasi visi dalam kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk mempertanggung jawabkan pendidikan karakter di hadapan public. Karakter yang ingin dibentuk oleh sekolah melalui berbagai macam program dan kebijakan harus senantiasa dievaluasi dan direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis.

Seperti yang diungkapkan Socrates, “hidup yang tidak direfleksikan merupakan hidup yang tidak layak dihayati.” Untuk itu, perlu dilihat apakah para siswa setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan menyampaikan refleksi pribadi-pribadinya terhadap teman-temannya atau apakah ada diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, madding sekolah, dll.

Seperti dalam sebuah film Freedomwriters dimana para peserta didiknya menulis peristiwa setiap hari yang dialami baik di dalam maupun luar lingkungan sekolah dalam jurnal pribadi yang nantinya akan dibaca oleh sang guru. Alhasil, guru tersebut bisa memahami cara berfikir dan merasakan perasaan setiap peserta didik juga mengenal lebih dekat karakter masing-masing.

Dalam memberikan penilaian terhadap pendidikan karakter tidak hanya diserahkan pada guru saja tapi juga harus ada interaksi antara peserta didik dan guru untuk menghindari subjektifitas dan membangun relasi yang baik antar keduanya. Yang utama dinilai adalah praksis, yaitu tindakan dan perilaku nyata yang terjadi dalam kehidupan sekolah.

Adapun kriteria penilaian pendidikan karakter dapat dilihat dari kuantitas kehadiran (untuk mengevaluasi tanggung jawab terhadap tugas yang diemban); jumlah peserta didik yang tepat mengumpulkan tugas; tidak terlibat tawuran, narkoba, dan tindakan kekerasan lainnya; prestasi akademis yang baik; dihargainya nilai kejujuran seperti tidak mencontek.

Sebetulnya di dalam laporan perkembangan seperti rapor telah ada kolom khusus untuk penilaian terhadap perilaku siswa. Namun terkadang wali kelas masih belum serius untuk menggunakannya sebagai media yang tepat. Catatan-catatan tersebut hanya sebatas penghias belaka. Oleh karenanya, perlu adanya keseriusan dari pihak sekolah untuk menyukseskan pendidikan karakter.

Bahkan penilaian perilaku siswa juga bisa dijadikan indikasi dalam penentuan kelulusan atau kenaikan peserta didik. Pelaksanaan secara konsisten dengan kesepakatan bersama tanpa mengistimewakan atau mengecualikan seorang pun akan membuat sekolah sebagai komunitas belajar stabil dan membantu pertumbuhan setiap individu di dalam lingkungan sekolah.



E.     Liberal Arts dan Pendidikan Karakter


Di Indonesia, gagasan pendidikan karakter sebetulnya sudah bukan hal yang baru lagi. Tokoh pendidikan nasional seperti : Ki Hajar Dewantoro, R.A Kartini, Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka, dsb telah berupaya untuk membangun watak bangsa melalui semangat pendidikan karakter. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, Soekarno menyatakan bahwa tidak ada kemerdekaan jika mentalitas bangsa tidak ada semangat dan kemauan untuk merdeka. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:

“Djikalau kita ingin mendidik rakjat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, djikalau kita ingin mendidik rakjat Indonesia menjadi tuan di atas dirinja sendiri, maka pertama-tama haruslah kita membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam hati sanubari rakjat Indonesia itu ia punja Roch dan Semangat menjadi Roch-Merdeka dan Semangat Merdeka jang sekeras-kerasnya, jang harus pula kita hidup-hidupkan mendjadi api kemauan-merdeka jang sehidup-hidupnja! Sebab hanya Roch-Merdeka dan Semangat-Merdeka jang sudah bangkit mendjadi Kemauan Merdeka sadjalah jang dapat melahirkan sesuatu perbuatan-Merdeka jang berhasil.” (dalam Suluh Indonesia Muda, 1928)



Kemudian, pendidikan karakter kembali di bumikan untuk memperingati hari Pendidikan Nasional 2010 lalu dapat menjadi tonggak awal untuk mengembalikan kembali pendidikan pada hakikatnya. Sekali lagi bahwa kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut.

Kualitas sumber daya manusia yang ada pada suatu negara sangatditentukan oleh kemajuan pendidikan yang dicapainya. Tentunya kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh suatu negara hendaknya menunjukkan berbagai perubahan-perubahan yang menuju ke arah perbaikan masyarakatnya dalam berbagai bidang terutama nilai moralnya. Perubahan tersebut hendaknya ke arah yang lebih baik. Arah perubahan tersebut sangat bergantung dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan kemauan baik setiap warga negaranya.

Hal ini karena pendidikan yang ada saat ini lebih mengedepankan pada aspek kognitif saja, dan melalaikan aspek efektif (karakter) dan psikomotorik (tingkah laku). Moral hanya menjadi kepentingan guru agama saja. Para orang tua lebih senang anaknya mendapat nilai 10 dalam setiap pelajaran dibandingkan mengetahui perkembangan perilaku anak di sekolah. Masyarakat yang semakin individualis seolah semakin tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Tidak ada hubungan harmonis antar semuanya.

Pendidikan liberal arts sebenarnya menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir dan menalar, yakni pengolahan kompetensi untuk menemukan dasar rasional bagi suatu gagasan dan sikap, di samping juga mengolah kompetensi-kompetensi yang umum dan mendasar. Umum artinya tidak spesifik atau khusus; mendasar artinya  esensial dan tidak pragmatis. Pendidikan liberal arts juga mencakup keseluruhan dimensi kemanusiaan secara utuh, yakni manusia sebagai makhluk yang menalar, berinteraksi dan berkembang, dan menciptakan individu yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.

Konsep dan paradigma liberal arts dalam pendidikan telah lam diterapkan di Eropa sejak sebelum peristiwa renaissance yang mereformasi kultur ilmiah di Barat. Penerapannya murni pada pengembangan disiplin keilmuan yang tidak terkait dengan kepentingan dan sistem tertentu, seperti : bahasa, filsafat, sejarah, sastra, dan sains abstrak. Pendidikan liberal arts memberikan bekal pada individu untuk memiliki kemampuan membaca kehidupan, dan mengapresiasinya sebagai pengalaman spasial-temporal yang terbatas dan singkat.

Liberal arts dan pendidikan karakter memiliki ruh yang sama yakni sama-sama memperhatikan prinsip moralitas dan humanisme. Hal ini diperkuat oleh Woodhouse, A.S.P. dalam karyanya The Nature of Humanities: Historical Perspective bahwa pendidikan humaniora mempunyai fungsi pengembangan humanitas dalam diri manusia. Mungkin Plato cukup menyadari sifat memikat filsafat (dan beasiswa) ketika ia mempresentasikan alegori gua. Gua ini merupakan dunia kehidupan sehari-hari, dan jika gua berisi tahanan yang dirantai dan dipaksa untuk melihat bayangan, maka untuk Plato atau orang berpendidikan secara bebas, adalah kembali ke gua dan mencoba untuk membebaskan mereka. Liberal arts atau sering disebut dengan pendidikan klasik memang belum popular di Indonesia. Karena idealis yang sama, maka pendidikan karakter bisa menjadi nama tengah Liberal Arts di Indonesia.

Thomas Lickona dan para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting karakter dalam gambar dengan menunjukkan hubungan sinergis antara keluarga (home), sekolah (school), masyarakat (community) dan dunia usaha (business).  

 

Sembilan unsur karakter dalam gambar tersebut meliputi unsur-unsur karakter inti (core characters) sebagai berikut:

1.             Responsibility (tanggung jawab)

2.             Respect (rasa hormat)

3.             Fairness (keadilan)

4.             Courage ( keberanian)

5.             Honesty (belas kasih)

6.             Citizenship (kewarganegaraan)

7.             Self-descipline (disiplin diri)

8.             Caring (peduli)

9.             Perseverance (ketekunan)

Melalui Sembilan unsur tersebut pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan kognitif semata, namun lebih mengarahkan seseorang agar menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang mampu memaksimalkan rasio dan hati nurani, atau dalam bahasa Kant disebut mampu Akal Budi Murni dan Akal Budi Praktis. Kemampuan untuk mengkombinasikan keduanya merupakan sebuah harapan bagi pendidikan di Indonesia, sehingga nantinya tidak terjebak pada pendidikan yang membentuk mesin-mesin hidup yang menggiring manusia ke dunia yang tidak dikenali, atau disebut dunia alienasi.

Pendidikan karakter bisa menjadi alternative untuk menjawab tantangan globalisasi yang dapat membangun keberadaan bangsa. Karena pendidikan karakter ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya dalam hubungannya dengan orang lain maupun dunianya. Sekali lagi manusia sebagai agen perjalanan sejarahnya sendirilah yang bisa memutuskannya. Bukankah dalam lirik lagu Indonesia Raya karya W.R Supratman terlihat secara gambling, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Semua dapat kita awali dari diri sendiri, hal terkecil, dan saat ini.



F.     Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi Anak

Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.

Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.

Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.

Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia.

a.       Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).

b.      Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).

c.       Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)..



BAB III

PENUTUP



A.     Simpulan

Proses panjang menuju pembentukan manusia seutuhnya di tempuh melalui jalur pendidikan karakter. Sebuah terobosan agar pendidikan berjalan seimbang, tidak hanya mengedepankan intelektual tanpa diimbangi pembentukan karakter. Manusia hakikatnya adalah makhluk bermoral, namun terkadang ada nafsu yang sering menjadi pengganggunya. Sebagaimana moral Kant yang menjunjung tinggi kebebasan berkehendak, maka dengan membebaskan manusia untuk berproses dalam pendidikan serta tidak membuat sekat-sekat akademik justru menjadikan manusia kembali pada kesadaran penuh tentang makna kehidupan.


B.     Saran
Seharusnya, dalam memberikan penilaian terhadap pendidikan karakter tidak hanya diserahkan pada guru saja tapi juga harus ada interaksi antara peserta didik dan guru untuk menghindari subjektifitas dan membangun relasi yang baik antar keduanya. Yang utama dinilai adalah praksis, yaitu tindakan dan perilaku nyata yang terjadi dalam kehidupan sekolah.

    
DAFTAR PUSTAKA 
A, Doni Koesoma, Pendidikan Karakter : Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta : Grasindo, 2010